Share |

Jurnal 1

MENCARI IDENTITAS

Acep Zamzam Noor


WORKSHOP Pelukis Muda ASEAN (19-30 Oktober 1986) yang berlangsung di Manila adalah untuk yang keempat kalinya, setelah pada tahun-tahun sebelumnya diadakan di Bangkok (Thailand), Kualalumpur (Malaysia) dan Yogyakarta (Indonesia). Workshop yang diikuti oleh 29 pelukis muda dari negara-negara ASEAN menjadi menarik karena berlangsung di Manila, sebuah kota yang sedang bergejolak hangat dalam kemelut politik negerinya. Selain itu, yang menjadi topik dalam workshop itu adalah masalah identitas dan upaya mencari alternatif bagi perkembangan seni rupa di negara-negara ASEAN, justru berlangsung di Filipina yang orientasi keseniannya jelas-jelas berkiblat ke Barat dan bahkan nyaris tak punya seni tradisi yang mengakar pada budaya aslinya. Dalam workshop itu setiap negara mengirimkan lima orang wakilnya (kecuali Brunei Darussalam, hanya mengirimkan empat orang). Indonesia diwakili oleh Singgih Hertanto (Jakarta), Sutikno (Yogyakarta), Edi Ratmadi (Solo), I Made Bendiyudha (Bali) dan Acep Zamzam Noor (Bandung). Setiap peserta membawa karya-karya sendiri, yang kemudian akan dipamerkan bersama-sama dengan karya-karya yang dibuat selama workshop.

Yang menarik dari karya-karya itu adalah bahwa setiap negara mengirimkan pelukis-pelukisnya yang sangat beragam. Ini karena setiap pelukis yang dikirim tidak berasal dari satu kubu, melainkan dari latar-belakang yang berbeda, baik asal sekolahnya, gaya maupun konsepnya. Keragaman ini kemudian mencoba lebur dalam satu studio, bekerja bersama-sama. Sementara yang bertindak sebagai mentor (master painter) dalam workshop itu adalah Prof. Jose Joya, Lao Lianben, Imelda Cajipe-Endaya, dan Manuel “Boy” Rodriquez, yang merupakan seniman dan budayawan terkemuka di negerinya.

Workshop yang secara resmi dibuka oleh Mr. Juanito P. Jarasa, Dirjen ASEAN Filipina, merupakan salah satu upaya kerjasama negara-negara Asean dalam bidang kebudayaan, khususnya seni rupa. Kerjasama ini disamping untuk menggalang persahabatan dan persaudaraan sesama anggota, juga untuk mengadakan dialog dalam usaha pengembangan kebudayaan bagi negara-negara ASEAN. Usaha ini penting karena meskipun negara-negara ASEAN masih satu rumpun (baik bahasa maupun kebudayaannya) dan pernah merasakan dijajah kaum kolonial, pada perkembangannya ternyata berbeda-beda. Filipina misalnya, seperti diakui oleh Prof. Joya, selama ini seniman-seniman Filipina orientasi keseniannya selalu ke Barat, dan yang mereka perjuangkan adalah perkembangan seni kontemporer yang diimpor dari Paris dan New York tanpa ada dialog lagi dengan seni tradisional. Ini disebabkan karena seni tradisi tidak berkembang, dan nyaris mati. Sementara itu pada negara-negara seperti Thailand, Indonesia maupun Malaysia seni tradisi itu masih kuat, dan bahkan mempengaruhi seni kontemporernya.

Dalam pengarahannya mengawali workshop, Prof. Joya mengatakan bahwa seniman-seniman ASEAN adalah seniman-seniman dari dunia ketiga yang masih harus terus berjuang mencari identitas dirinya, masih harus terus menggali akar budaya bangsanya secara optimal. Akar budaya ini hanya akan menjadi benda mati jika diangkat tanpa kreativitas, tanpa dialog dengan pengucapan masa kini. Prof. Joya melihat potensi yang besar dari negara-negara ASEAN untuk menemukan identitas seni dunia ketiga, justru karena potensi alam dan potensi budayanya yang sangat kaya. Dan kini sudah tiba saatnya bagi ASEAN untuk bergerak ke arah dialog budaya yang kongkrit dalam upaya merumuskan konsep keseniannya.

Lebih lanjut Prof. Joya mengungkapkan bahwa dalam melupakan kepahitan masa lalu (masa kolonial), banyak seniman dari kawasan ASEAN yang mencoba menggali seni tradisi dalam usaha-usahanya menemukan identitas. Ini suatu pertanda yang baik untuk bisa berprestasi di arena internasional pada masa yang akan datang. “Apalagi sebagai kawasan serumpun kita sebenarnya mempunyai perbendaharaan yang sama, yang tentunya masih harus digali lebih jauh,” katanya. Ia mengharapkan akan adanya interaksi antara seniman-seniman ASEAN dalam satu jalur ke arah kemajuan. Kemudian ia mengandaikan bahwa ASEAN ini akan menjadi sebuah taman yang akan dipenuhi oleh bermacam-macam bunga yang bersumber dari tradisi masing-masing.

Mengenai masalah ini, Lao Lianben dan Manuel “Boy” Rodriquez sepakat bahwa seniman-seniman dari dunia ketiga tak mungkin bisa mengalahkan Barat jika masih menempuh cara yang sama dengan mereka. Menurut Rodriquez, sudah waktunya kita harus mencari alternatif dalam berkesenian. Dan salah satu yang ditawarkannya adalah menyadari kondisi yang ada, bahwa kita lebih miskin dibanding mereka. Dengan kesadaran ini kita akan kreatif mencari hal-hal yang ada di sekitar kita dan memanfaatkannya sebagai media seni. “Jika selama ini kita masih tergantung pada bahan-bahan (material) yang didatangkan Barat dengan harga yang mahal, kenapa tidak memanfaatkan alam yang ada disekitar kita?” tanyanya. Ia mengambil contoh penggunakan arang (charcoal) yang gampang didapat dan dibuat sendiri. Dengan bahan yang sederhana ini sebenarnya seniman bisa berbuat banyak, apalagi menggambar dengan menggunakan hitam-putih merupakan latihan yang baik bagi pelukis. Ia juga menyebut pensil sebagai material seni rupa yang tak kalah dibanding akrilik, gouache dan yang bahan-bahan mahal lainnya.

Kecenderungan menggunakan bahan-bahan yang dari lingkungan sendiri ini memang terlihat kuat pada seniman-seniman muda Filipina. Ini mungkin juga suatu alternatif yang ditempuh mereka untuk kembali kepada alam, karena mereka tak punya tradisi budaya yang bisa dibanggakan. Imelda Cajipe-Endaya (yang juga salah seorang mentor) misalnya, dalam pemutaran slide karya-karyanya serta dalam demontrasinya nampak sekali kebebasannya menggunakan bahan. Ia tidak hanya menggunakan cat, tapi juga kain lap, sobekan kelambu, taplak, bambu, ranting, tali, benang dan sebagainya. Lukisannya memang menjadi sebuah kolase yang manis, tapi sebenarnya yang ingin diungkapkan oleh pelukis cewek ini adalah tanggapan tentang masalah sosial-politik di negerinya. Kolase hanya sebagai alternatif pengungkapan , atau teknik belaka dan bukan sekedar keasyikan menempel-nempel seperti banyak terjadi pada kebanyakan pelukis muda.

Contoh lain kembalinya pada alam telah ditempuh oleh pematung muda Filipina, Junyee (satu karyanya ada di Taman Surapati, Jakarta) yang lari dari kota dan hidup secara survival di hutan. Karena kemuakannya pada kehidupan yang semakin materialistis, pada teknologi yang ternyata juga merusak, ia memutuskan untuk hidup di hutan. Karya-karyanya memang dipungut dari apa yang ada di hutan: daun-daun, pelepah pisang, ranting-ranting, rumput dan sebagainya. Dari bahan-bahan itu ia ungkapkan dengan bahasa masa kini. Dalam kesempatan demontrasinya, ia mempraktekkan bagaimana membuat karya dari pohon-pohon pisang yang sudah kering, menjadi sebuah karya yang kontemporer.

Dalam pelaksanaannya workshop ini dibagi menjadi dua program, yakni kegiatan-kegiatan yang berlangsung di studio (studio session) dan kunjungan-kunjungan ke pusat-pusat kebudayaan dan kesenian, museum-museum, galeri-galeri yang ternyata banyak sekali jumlahnya serta ke obyek-obyek wisata. Rupanya acara ini dimanfaatkan juga untuk memperkenalkan Manila sebagai kota budaya dan wisata, yang ternyata memang sangat mempesona. Untuk studio session bertempat di CCP (Cultural Centre Of Philippines) dan mengambil salah satu ruangan di gedung Manila Film Center yang berlokasi di kawasan Manila Bay, yang jika senja turun kawasan ini menjadi sebuah lanskap yang indah.

Para peserta yang beragam itu, baik gaya, konsep maupun cara kerja mencoba lebur dalam satu studio. Dari karya-karya yang mereka bawa keragaman bisa ditandai dengan dua kecenderungan besar, yakni “yang asyik” dan “yang protes”. Peserta-peserta dari Singapura, Brunei, sebagian Mataysia dan Indonesia (dari Yogyakarta dan Bali) karya-karyanya menunjukkan keasyikannya bergumul dengan teknik. Subjek matter-nya memang berbeda-beda, tapi yang disampaikannya nampak hanya berkisar pada satu hal: keindahan. Dari Singapura umpamanya, mereka semua menggarap tema yang sangat dasar, still life dan pemandangan alam dengan teknik yang konvensional, begitu juga peserta-peserta dari Brunei dan sebagian dari Malaysia. Sementara Sutikno dan Bendi Yudha dari Indonesia menggarap tema ornamentik yang berangkat dari tradisi, namun dengan pencapaian yang kurang-lebih sama: berkisar pada keindahan.

Saya katakan “asyik” karena rata-rata mereka mengandalkan ketekunan, ketelitian dan kesabaran dalam menggarap pekerjaannya. Dari keasyikannya bergumul dengan masalah teknis itu saya kurang bisa merasakan greget pada karya-karya mereka, hanya beautiful yang menghibur mata. Yang menarik dari kecenderungan yang “asyik” ini adalah peserta-peserta dari Thailand. Pada mereka ketekunan, ketelitian, dan kesabaran mengerjakan karyanya sangat terasa, tapi yang kemudian nampak tidak sekedar keindahan. Mereka rata-rata menggarap karyanya dengan menggunakan bermacam-macam bahan dan mencoba mengadakan dialog antar bahan dengan gagasan. Nampak pengaruh tradisi pada mereka sangat kuat namun berhasil diungkapkan secara lain. Pada Nipan Orraniwesna umpamanya, ornamen-ornamen khas Thailand tidak diangkat begitu saja dari tradisinya, tapi melewati satu proses pengolahan yang lebih lanjut dengan memanfaatkan karakter bahan (kertas) yang memberikan efek-efek yang khas. Bahkan kertas menjadi tidak sekedar bahan putih tempat menggambar, tapi bicara sangat lain. Hal semacam ini nampak juga pada karya-karya Vuttichai yang memakai bahan fibre-glass, juga pada Sansrn dan Sangyot dialog antara bahan dan gagasan itu terjadi.

Sementara itu peserta-peserta dari Filipina menampilkan karya-karya yang lebih progresif. Ini barangkali disebabkan oleh kondisi masyarakatnya yang lebih terbuka, juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik yang semakin hangat akhir-akhir ini. Nampaknya mereka berupaya merespon keadaan, mencoba tanggap pada lingkungan. Kecenderungan ini nampak sekali pada kebanyakan pelukis muda di sana. Cory-Marcos menjadi tema hitam-putih yang sangat populer. Yang menarik dari karya-karya mereka bukan kematangan atau keterampilannya menguasai teknis, tapi justru kebebasannya dalam mengungkapkan gagasan dengan penggunaan bahan yang bebas pula. Keasyikan kurang nampak pada mereka, karya-karyanya lebih merupakan teriakan atau jeritan.

Jess Puertollano dan Freddy Aquilizan sangat menarik perhatian saya karena cara kerjanya yang temperamental, bahkan nyaris brutal. Pada lukisan mereka objek masih ada, tapi nampak lebih sebagai titik-tolak saja, sebab yang kemudian muncul adalah garis-garis yang tegas, warna-warna yang kontras dan gerak yang bebas. Terkadang mereka juga menggunakan kolase yang diambil dari koran-koran. Sementara peserta lainnya, Stephen Lazam, Wilfredo Calderon dan Arnold Jumpai menggarap tema-tema sosial-politiknya dengan menggunakan teknik kolase, yakni tempelan berbagai benda (juga koran-koran, foto-foto) yang berbau Pop Art.

Pada Stephen Lazam tema politiknya nyaris hitam putih, masyarakat (people’s) putih dan regim Marcos hitam dengan pengungkapan yang vulgar. Sedang Wilfredo Calderon sangat manis karyanya, karena dengan sangat sensitif dia menempelkan sobekan-sobekan koran (buku) yang dipadu dengan benda-benda lain. Ya, mereka memang sangat bebas, dan yang membuat saya lebih dekat dengan mereka (dibanding dengan yang lainnya) adalah karena kebebasan itulah, saya merasa mempunyai cara kerja dan citarasa yang sama (terutama sama Freddy dan Jess). Dan bersama Riaz (Malaysia) dan Singgih (Indonesia) kami melukis bersama dalam satu kanvas besar dan mendirikan Tata’s Group, karena merasa satu karakter.

Dalam workshop semacam ini tentu saja tidak semua pelukis bisa bekerja dengan baik. Bagi mereka yang tergolong cara kerjanya “asyik” nampak agak repot dan kurang konsentrasi, apalagi waktunya sangat singkat karena terganggu acara lain. Sementara bagi kelompok pelukis yang kerjanya ekspresif dan aktraktif suasana riuh seperti ini menguntungkan, justru karena banyak yang menonton hingga mereka bisa beraksi. Tapi mungkin disinilah terjadinya dialog itu, sebab jika mengamati karya-karya yang diselesaikan selama workshop dengan karya-karya sebelumnya sangat lain. Pada karya Riaz umpamanya, karya-karya sebelumnya banyak menampilkan ornamen-ornamen tekstil khas Malaysia dan selama workshop tiba-tiba berubah menjadi abtrak-ekspresionis, juga Norzairi dari Brunei yang mencoba teknik kolase. Dan sebaliknya, Stephen Lazam yang pada karya sebelumnya sangat vulgar, ketika workshop justru membuat karya yang ornamentik dengan teknik air-brush.

Selain melukis bersama, dalam studio session juga dilangsungkan diskusi tentang konsep bersama para mentor, pembahasan karya-karya peserta dan demonstrasi dari para mentor tadi. Prof. Joya, Lao Lianben, Imelda Cajipe-Endaya mapupun Manuel “Boy” Rondruquez sebenarnya lebih berperan sebagai teman dialog dari pada mentor workshop, karena mereka membebaskan para peserta untuk berbuat apa saja, melukis apa saja. Dialog-dialog berlangsung secara pribadi dengan memasalahkan teknis sampai pada kemungkinan-kemungkinan bahan. Sementara masalah identitas yang pernah diapungkan oleh Prof. Joya pada awal workshop ini, memang tak mungkin terumuskan dalam kegiatan sesingkat ini, karena masalah identitas adalah masalah proses yang dikaitkan dengan waktu. Tapi yang bisa dicatat di sini adalah, bahwa workshop ini telah mengikat rasa kebersamaan untuk berjuang dan memelihara semangat dalam mengupayakan identitas dengan berorientasi pada tradisi masing-masing. Di sini tradisi sebagai lawan dialog dari persoalan-persoalan seni masa kini, dan bukan sebagai kuburan masa lalu.

***

Berbagai kerusuhan dan demonstrasi yang menghangat di beberapa bagian kota Manila ternyata tak menggangu berlangsungnya workshop itu. Dengan penyelenggaraan yang profesional workshop berjalan dengan mulus sesuai rencana. Workshop diakhiri dengan penyelenggaraan pameran di Main Gallery, sebuah galeri mewah yang terdapat di gedung utama CCP. Pameran lukisan itu (berlangsung 29 Oktober-14 Nopember 1986) dibuka oleh Miss Marissa Laurel, putri wapres Salvador H. Laurel, berlangsung meriah dengan dihadiri para pejabat, korp diplomatik, seniman-seniman dari berbagai kalangan, mahasiswa serta peminat-peminat lain yang berlimpah. Selain karya-karya peserta workshop, juga dipamerkan karya-karya para pengarah serta para pelukis muda Filipina yang pernah ikut workshop serupa di Bangkok, Kuala Lumpur dan Yogyakarta pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk yang terakhir ini mengambil tempat di galeri lain, tapi masih di gedung yang sama. Dalam pameran itu nampak sebuah panorama yang sangat kaya yang dimiliki ASEAN, meskipun para pelukis yang mewakili negerinya belum tentu yang terbaik, tapi kekayaan ini bisa dilihat dari keragaman yang ditampilkan masing-masing pelukis dengan latar tradisinya yang berbeda-beda. Dalam sambutannya, Marissa Laurel menyatakan kekagumannya pada kekayaan yang dimiliki pelukis-pelukis muda ini didalam mengungkapkan keindahan negerinya masing-masing. Dan dalam kesempatan itu ia mewakili ayahnya menyerahkan piagam penghargaan kepada para peserta serta para mentor.

(1986)

Prev Next