Share |

Jurnal 4

CATATAN DARI PERUGIA

Acep Zamzam Noor


SEPERTI umumnya kota-kota tua di Italia, Perugia pun merupakan kota yang artistik. Hampir semua sudut kota ini penuh dengan elemen-elemen seni, entah itu patung, relief, ornamen atau mural. Bukan hanya menghiasi bangunan-bangunan gereja atau gedung-gedung monumental, tapi juga menempel pada perumahan penduduk, menghiasi gang-gang sempit. Yang menjadi menarik mungkin hanya ketuaan atau nilai sejarahnya saja, hingga terus dilestarikan sampai kini.

Ada kesan orang-orang Italia adalah pemuja masa lalu yang agak berlebihan, sebab tidak semua yang dilestarikan itu benar-benar istimewa – misalnya hanya sebongkah tembok dari reruntuhan sebuah bangunan kuno. Untuk pelestarian ini semuanya harus mengalah hingga tak ada pelebaran jalan atau pendirian bangunan baru di tempat bersejarah. Hal lain yang berhubungan dengan pelestarian masa lalu. Tentu saja, di kota ini juga terdapat banyak museum yang menyimpan karya-karya klasik serta benda-benda purbakala. Selain gereja-gereja yang merangkap sebagai museum seni dengan koleksinya yang sangat bernilai, beberapa museum dan galeri khusus juga mempunyai koleksi yang cukup penting dalam perjalanan seni rupa Italia dari zaman ke zaman, khusus untuk kawasan Umbria.

Salah satu yang terpenting diantaranya adalah Galleria Naziole dell’ Umbria yang menempati lantai teratas dari Palazzo dei Priori, sebuah gedung megah kebanggaan kota Perugia. Galeri nasional ini cukup besar dan menyimpan koleksi lukisan serta patung dari pelukis-pelukis terkenal dalam sejarah seni rupa Italia yang sangat tua. Galeri yang mempunyai sejumlah ruang ini mengelompokkan koleksi-koleksinya berdasarkan tahun pembuatan serta gaya atau aliran dari lukisan-lukisannya. Semua koleksi yang tersimpan di galeri yang sebenarnya lebih cocok disebut museum -- ini berasal dari abad ke-13 hingga abad ke-18, dan umumnya bertema keagamaan (Katolik), mulai dari adegan-adegan kelahiran Yesus sampai pada penyalibannya. Di samping itu terdapat juga lukisan tentang orang-orang suci Katolik serta lukisan yang berlatar sejarah Perugia sendiri.

Di sini kita juga bisa melihat perkembangan teknis, pengungkapan dan gagasan mulai dari gaya klasik yang mistis – dengan penggambaran malaikat serta para peri yang mengawang – sampai pada adegan-adegan Bunda Maria yang lebih membumi dan manusiawi. Tak semua lukisan atau patung yang terdapat dalam galeri ini berasal dari Perugia, tapi sebagian merupakan sumbangan dari gereja-gereja di kota lain sekitar Perugia. Di Ruang I misalnya, terdapat lukisan-lukisan yang berasal dari Siena, Assisi bahkan Firenze. Di ruang ini umumnya lukisan-lukisan yang dipajang berasal dari pertengahan abad ke-13, yang bisa ditandai dari pelukisan sosok-sosk tokohnya yang masih kaku dengan warna-warnanya yang simbolis, didominasi warna kuning keemasan serta cokelat tanah.

Sedangkan latar dari setiap obyek penuh dengan ornamen-ornamen yang mengarah pada craft – seperti yang tampak jelas pada lukisan salib karya Maestro di San Francesco. Di sini Yesus digambarkan sedang disalib pada kayu lebar yang penuh hiasan ornamentik, sedangkan wajah Yesusnya sendiri tidak tampak dalam ekpresi yang menderita. Ruang II sampai V masih diisi oleh lukisan yang berasal dari pertengahan abad ke-13 sampai 14 yang ungkapannya tak banyak berubah. Karya Duccio di Bonisegna yang menggambarkan bunda Maria sedang memangku bayinya, juga didominasi warna kuning keemasan dengan dilatari para peri – gadis-gadis kecil bersayap yang melayang-layang disekelilingnya. Di sini penggambaran orang-orang suci selalu disertai cahaya keagungan yang memancar.

Ruang-ruang berikutnya yang memajang karya-karya dari Gentile da Fabriano, Beato Anggelico, Giovani Boccati, Piero della Francesca sampai Pietro Vanucci masih hadir dengan tema-tema yang sama, yakni adegan-adegan Bunda Maria dengan anaknya. Tapi dari beberapa nama terakhir baik teknis maupun pengungkapannya tampak berkembang. Teknik naturalis -- meskipun tetap dengan para peri yang melayang-layang -- tampak lebih menonjol pada pelukis-pelukis ini. Demikian juga dalam pewarnaan, tampak lebih naturalis dengan warna alamiah seperti biru untuk langit, hijau untuk daun, cokelat untuk tanah dan seterusnya. Pietro Vanucci (abad ke-16) adalah nama penting dalam sejarah seni lukis Italia dan banyak disebut-sebut sebagai gurunya Raffaelo dan Michael Anggelo – dua nama besar dalam sejarah Renaissance. Pada kedua nama inilah gaya yang dirintis Vanucci berkembang dan mencapai puncaknya. Karya-karya Vanucci mengisi Ruang XIV serta beberapa ruang berikutnya.

Sosok-sosok tokoh yang digambarkannya sangat naturalis dan lembut, bahkan latar belakannya pun bukan sebuah dunia antah berantah namun gedung-gedung dan khususnya tiang-tiang megah khas Romawi. Meskipun demikian, unsur-unsur mistis keagamaannya juga tetap tampak. Dalam sebuah adegan yang menggambarkan Bunda Maria sedang bersimpuh memandang bayinya yang tergolek di lantai, latar belakangnya diisi oleh sekawanan domba diantara tiang-tiang dan ladang, sementara bagian atasnya dua gadis bersayap melayang dekat matahari yang menyala. Pada pelukis-pelukis berikutnya seperti Pietro da Cortona, Pietro Montanini atau Orazio Gentileschi (semuanya abad ke-17) tema-tema yang sama tampak lebih membumi dan ditampilkan dalam adegan sehari-hari dengan teknik naturalis.

Di lantai dasar dari Palazzo dei Priori ada sebuah ruang khusus yang seluruh dinding dan langit-langitnya yang berceruk-ceruk penuh diisi oleh mural karya Vanucci. Lukisan dinding yang menggambarkan adegan-adegan keagamaan ini sekarang sedang mengalami restorasi karena beberapa bagian dindingnya sudah terkelupas. Yang menarik, proses restorasi yang dilakukan oleh sebuah tim pelukis secara hati-hati untuk bisa mendekati karya aslinya ini terbuka untuk dilihat umum. Nama Pietro Vanucci alias Pietro Perugino yang kelahiran Perugia ini memang sangat terkenal. Selain diabadikan untuk nama jalan utama kota Perugia, juga dipakai untuk nama sebuah akademi seni rupa, yakni Accademia di Balle Arti Pietro Vanucci.

Di akademi yang usianya cukup tua ini terdapat juga sebuah museum yang menyimpan patung-patung klasik, di samping lukisan dan drawing. Banyak museum dan galeri lain yang khusus memajang koleksi-koleksi kuno, sayang untuk bisa masuk dan menikmati isinya tidaklah gratis. Untuk masuk Galleria Nazionale dell’ Umbria umpamanya, setiap pengunjung harus membeli karcis yang harganya 8000 lire (atau sekitar Rp. 12.000,00) sedang untuk masuk ke museum Accademia di Balle Arti, setiap pengunjung dipungut 5000 lire.

Masih di lantai dasar dari Palazzo dei Priori, ada salah stu ruangannya yang dijadikan galeri kontemporer. Galeri yang dinamai Sala Grifo e Leoni setiap bulannya – dua kali dalam sebulan – selalu mengadakan pameran, baik dari pelukis-pelukis Italia maupun asing. Galeri ini sebenarnya tak terlalu besar dan tersekat-sekat, tapi inilah galeri milik pemerintah yang paling aktif menampilkan pameran lukisan modern. Galeri lain milik pemerintah terdapat salah satu bagian dari bangunan bawah tanah Rocca Paolina, tapi galeri ini agak jarang mengadakan pameran lukisan dan lebih sering dipakai untuk memamerkan karya-karya desain, seperti keramik, tekstil atau produk – dan tentu saja selalu memungut bayaran dari para pengunjung. Galeri Rocca Paolina ini sangat besar dan cukup ideal buat pameran lukisan.

Dengan memanfaatkan keaslian ruang-ruang berceruk dan dinding yang berpermukaan kasar dari bangunan kuno bawah tanah ini, suasana galeri sangat tenang dan sejuk, sehingga para pengunjung bisa dengan khusuk mengapresiasi karya-karya yang dipajang. Galeri ini tampaknya hanya digunakan untuk pameran-pameran khusus dan penting atau disewakan pada perusahaan-perusahaan yang ingin memamerkan produk-produk terbarunya.

Galeri-galeri lain masih sangat banyak di kota Perugia yang tak terbilang besar ini. Galeri-galeri itu terselip di antara butik-butik, toko-toko atau malah di gang-gang sempit. Tak semua galeri-galeri itu rutin mengadakan pameran, malah sebagian besar hanya berupa artshop-artshop yang hanya menjual lukisan-lukisan turistik yang berlatar bangunan-bangunan tua kota ini. Tentu saja sasarannya adalah para turis yang pada musim panas ini banyak membanjiri Perugia. Melihat artshop-artshop di sini mengingatkan saya pada suasana Ubud di Bali sana, yang juga menyuguhi para turis dengan keeksotikan obyek-obyek yang khas Bali. Begitu juga di sini, kita banyak menemukan teknik, komposisi atau pewarnaan dan juga format yang sama dari pelukis yang berbeda-beda – terutama dalam melukiskan sudut-sudut bangunan tua yang khas di kota Perugia ini.

Sementara galeri-galeri kontemporer yang mengkhususkan diri memamerkan – bukan sekedar menjual – lukisan-lukisan modern juga cukup banyak, meskipun tempatnya juga terselip di antara bangunan-bangunan lain atau di gang-gang yang sempit. Melihat galeri-galeri kontemporer ini mengingatkan saya pada Galeri Cemeti di Jogjakarta atau C-Line Gallery di Jakarta, yang tak terlalu ngotot dengan ruang representatif atau lokasi yang strategis, namun paling penting mungkin adalah penanganannya yang serius serta profesional. Di antara galeri-galeri kontemporer yang cukup aktif mengadakan pameran selain Sala Grifo e Leoni yang sudah saya sebut di atas, adalah Galeria Il Gianicolo, Galeria Sapzio Arte, Galeria Il Sole Ipso dan beberapa lagi.

Dari sejumlah pameran yang digelar selama tujuh bulan terakhir ini (sampai Juli 1992) ada kesan yang sangat kuat bahwa seni lukis klasik masih mempengaruhi sejumlah pelukis Italia, khusus yang berpameran di Perugia ini. Rata-rata mereka berangkat dari keterampilan dasar melukis dengan teknik naturalis serta ornamentik. Sebagai contoh adalah pelukis Giuliano Geleng yang berpameran di Sala Grifo e Leoni pada bulan Maret lalu, dia mengangkat pecahan-pecahan patung klasik dan reruntuhan bangunan pada suasana yang surealistik. Sekilas karya-karyanya mengingatkan saya pada lukisan surealisme yang sedang tumbuh di tanah air yang nilai surealistiknya ditekankan pada keganjilan objek-objeknya. Hal serupa juga dilakukan oleh Attardi Borghese yang berpameran di Galeri Il Gianicolo pada bulan April, dengan teknik yang lebih ekspresif. Beberapa pelukis lain, meskipun dengan teknik yang berbeda-beda, baik yang mengarah pada ekspresionisme dengan segala pengembangannya maupun yang asyik mengolah bahan-bahan, tampak tak bisa lepas sama sekali dari tradisi yang telanjur sangat kuat mempengaruhi mereka. Mungkin juga karena hampir semua akademi seni rupa di sini sangat menekankan penguasaan teknik klasik terlebih dahulu sebelum para mahasiswa mengembangkan dirinya lebih jauh.

Untuk meraba denyut seni rupa Italia memang tak bisa jika hanya dilihat dari Perugia ini, sebab pameran-pameran penting dan besar lebih banyak digelar kota-kota lain seperti Milano, Torino, Venesia atau Firenze. Lebih-lebih yang berpameran di Perugia pada bulan-bulan terakhir ini kebetulan bukanlah pelukis papan atas negeri ini, meskipun rata-rata mereka rata-rata sudah mempunyai beberapa buku yang memuat karya-karya mereka. Sedangkan dari pelukis asing yang sempat saya saksikan adalah Petros Papavassiliou yang berpameran di Galleria Il Gianicolo beberapa bulan lalu. Petros yang usianya sudah tak muda lagi ini karya-karyanya cukup menarik dan segar. Lukisan-lukisannya yang banyak menggunakan tecnica mista (teknik campuran) berada pada jalur yang kini tengah ramai di Eropa, yakni neo-ekspresionisme atau apapun istilahnya – yang mengangkat persoalan manusia modern dengan segala kenestapaannya.

Dengan sangat ekspresif ia melukiskan manusia-manusia mesin atau manusia setengah mesin dalam komposisi yang acak, tak beraturan dan tegang. Warna-warnanya yang kelam kecoklatan kadang dikontraskan dengan kuning atau merah. Tapi karya-karya Petros yang di atas kertas agak lain, objek-objeknya mengarah ke abstrak dan ia menyertakan tulisan-tulisan puitis dalam bahasa Yunani. Yang menjadi khas dari karyanya, hampir seluruh bagian pinggir dari kanvas maupun kertas selalu diisi dengan warna hitam – hingga cahaya seakan memusat ke tengah. Kini Petros yang kelahiran Athena ini tinggal dan berkarya di Milano.

Galleri Il Gianicolo memang terhitung paling getol berpameran dan juga paling sering menampilkan karya-karya yang menarik. Tempatnya sendiri tak begitu besar dan terdiri dari tiga ruang berukuran sedang, tampaknya hanya sebuah apartemen yang disulap jadi ruang pameran. Gedungnya terjepit di antara apartemen-apartemen lain dan terletak di sebuah jalan sepi, meskipun tak begitu jauh dari pusat kota. Sebagai gambaran umum, begitulah galeri-galeri di sini yang rata-rata tak lebih besar dari sebuah toko atau butik, dan jelas jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan restoran kelas menengah.

(1992)
Prev Next Next