Share |

Jurnal 2

MASJID-MASJID DI TANAH SUCI

Acep Zamzam Noor


PERJALANAN naik haji bagi siapa pun yang melakukannya akan menjadi perjalanan ibadah yang mengesankan. Sebab selain memenuhi panggilan-Nya untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima, dengan sendirinya ibadah haji juga merupakan sebuah tamasya spiritual yang mungkin sangat sulit terlupakan. Semua tempat yang dikunjungi, baik yang wajib maupun sunat selalu menggoreskan kesan yang mendalam. Keterharuan, kesedihan beraduk dengan kebahagiaan ketika memasuki masjid-masjid atau tempat-tempat yang menjadi saksi sejarah perkembangan Islam.

Masjid-masjid itu, khususnya yang terdapat di Mekkah dan Madinah, yang pada musim haji dikunjungi berjuta-juta kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia, bukan saja indah atau artistik secara visual tapi juga sarat dengan nilai-nilai sakral. Sebuah perwujudan antara semangat artistik yang tinggi dengan kesadaran spiritual yang dalam hingga mampu memancarkan keindahan, keanggunan serta keagungan sekaligus. Sebuah persenyawaan semangat akhirat dan gairah dunia yang harmonis.

Di tengah masyarakat Arab seni memang sudah hadir semenjak awal peradaban Islam. Kaligrafi yang berpola geometris dengan ornamen tumbuhan dari binatang sudah sangat kita kenal lewat sajadah, permadani atau barang-barang kerajinan yang dibawa para jemaah haji dari Tanah Suci. Begitu juga arsitektur masjid yang memberikan pengaruh yang luas pada arsitektur masjid di seluruh dunia. Memang dalam perkembangannya mencapai puncak ekspresi, khususnya kaligrafi dan arsitektur, kesenian Islam bersenyawa dengan tradisi-tradisi lain yang non-Arab hingga melahirkan bentuk kesenian Islam yang kaya. Di negara-negara Afrika, sebagian Eropa, Asia maupun Amerika arsitektur masjid berkembang dengan menonjolkan kekhasannya masing-masing namun tetap mewarisi tradisi arsitek kebudayaan Timur Tengah sebagai ruhnya.

Di mana pun, yang menjadi ciri utama kesenian Islam adalah sikap rohani yang mendasarinya. Sebagai agama monotheistik, maka kesenian Islam atau yang bernapas Islami selalu menampilkan semangat tauhid serta pengabdian kepada Allah. Pada masyarakat Arab sikap tauhid ini antara lain terekspresikan lewat kaligrafi yang berhubungan dengan pemuliaan asma Allah serta lambang-lambang geometris yang mengisyaratkan keesaan-Nya. Kaligrafi-kaligrafi ini menghiasi bagian-bagian dinding masjid, kaca-kaca, keramik, hiasan logam, kain-kain bersulam, permadani, dan benda-benda artistik lainnya.

Masjidil Haram berdiri sebagai bangunan raksasa yang spektakuler di tengah-tengah kota Mekkah. Dengan tujuh (dalam rencana pengembangannya akan menjadi sembilan) menara megah yang menusuk langit, wujud masjid terbesar di dunia ini begitu kuat memancarkan kharismanya. Tentu saja bukan karena di dalamnya terdapat Ka’bah, sebuah bangunan hitam segi empat yang disebut Baitullah, yang merupakan kiblat seluruh umat Islam di dunia menghadapkan hatinya saat sembahyang , tapi secara artistik memang begitu mempesona. Sebuah bangunan yang mirip stadion atau amphitheatre dengan ruangan terbuka yang luas di tengah-tengahnya.

Masjid ini memang tak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam maupun ritual-ritual peribadatan umat Islam. Di masjid inilah kegiatan ritual haji berpusat. Selain Ka’bah yang mempunyai daya sedot ribuan watt bagi hati yang mengimani-Nya, di mesjid yang mula-mula dibangun Nabi Ibrahim ini terdapat juga Maqom Ibrahim yang merupakan jejak kaki beliau ketika membangun Ka’bah, di sekitar itu juga terdapat Hijir Ismail yang ditandai dengan pilar besar setengah lingkaran. Agak sedikit jauh dari Ka’bah, terdapat Sumur Zamzam dan terus kebelakang membentang sebuah jalur yang menghubungkan bukit Shafa dan Marwah, tempat para jemaah melaksankan sa’i. Semuanya merupakan suatu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari Masjidil Haram. Tempat-tempat yang terpelihara keorsinilannya ini, tempat-tempat yang mempunyai nilai sejarah ini dalam perwujudannya sekarang nampak mesra berdampingan dengan kecanggihan teknologi sebuah bangunan yang modern.

Sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, perbaikan, perluasan dan penyempurnaan terus dilakukan dari waktu ke waktu. Menurut sebuah sumber, perbaikan besar-besaran boleh dikatakan dimulai pada permulaan berdirinya kerajaan Arab Saudi. Dan pada masa Raja Fahd Ibn Aziz berkuasa sekarang ini, perwujudan Masjidil Haram yang nampak sudah megah dan indah masih saja terus diperlukan dan disempurnakan dengan target mampu menampung jemaah dalam waktu yang bersamaan tak kurang 600.000-an orang.

Yang mengesankan saya, upaya perluasan dan penyempurnaan yang dilakukan bukan saja hanya mementingkan fungsinya dalam meningkatkan daya tampung dan kenyamanan bagi para jemaah, tapi juga nampak sangat mementingkan segi artistiknya, bahkan terasa sangat dominan. Menara-menaranya yang menjulang anggun itu bagaikan lampu kristal raksasa yang menyemburkan cahaya ke seluruh kegelapan malam. Sunguh-sungguh sebuah panorama tersendiri. Sementara itu seluruh dinding masjid dilapisi marmer keabuan dengan hiasan-hiasan kaligrafi yang ornamentik-geometris.

Masjidil Haram ini mempunyai beberapa pintu utama, di samping puluhan pintu lainnya. Pintu utama yang terdiri dari lengkung-lengkung tiang dengan hiasan batu yang berukir ini kemudian menjadi sebuah irama yang menarik karena berlanjut dengan lengkung-lengkung lain dari ribuan tiang penyangga ruwak, yakni bagian bangunan yang beratap. Seluruh tiang juga dilapisi marmer dengan lampu-lampu kristal yang menggantung di sela-selanya.

Jika kita berada di lantai teratas sehabis maghrib dan memandang ke bawah, kita akan menyaksikan sebuah putaran dari gelombang besar berwarna putih kapas bergerak konstan mengelilingi kotak hitam. Gelombang jemaah yang bergerak bagai air sungai yang berputar mengelilingi jarum jam, begitu gemuruh namun serba teratur. Kekhusyuan dan keindahan serba menyatu dengan atmosfir Masjidil Haram yang dikelilingi bangunan-bangunan pencakar langit modern serta bukit-bukit batu yang gundul. Dari lantai teratas kita juga dapat menyaksikan permadani yang terhampar mengisi lantai seluruh bagian bangunan yang beratap. Permadani merah tua kecoklatan ini sangat serasi dengan gentong-gentong merah muda berisi air zamzam yang ditaruh di seluruh bagian masjid, untuk memudahkan para jemaah yang kehausan minum.

Selain Masjidil Haram, di kota Mekkah dan sekitarnya masih terdapat masjid-masjid lain yang bersejarah, dan di antara yang terpenting adalah Masjid Tanaim yang jaraknya hanya beberapa kilometer saja dari Masjidil Haram. Masjid ini tak terlalu besar, ukurannya mungkin sama dengan masjid-masjid agung yang terdapat di kota-kota provinsi di Indonesia. Bangunannya bergaya modern, dengan hiasan-hiasan yang tidak terlalu rumit. Yang menarik dari masjid ini adalah ruang dalamnya yang terasa sejuk, dengan memainkan lobang-lobang kecil yang mengatur cahaya matahari masuk. Tidak seperti di pusat kota Mekkah, di Tanaim ini kita banyak menemukan tumbuh-tumbuhan yang hijau dan bahkan halaman masjidnya pun dihiasi dengan sebuah taman yang indah. Banyak juga pohon-pohon besar (semacam akasia) yang bisa tumbuh di situ.

Dalam ritual haji, Masjid Tanaim ini mempunyai arti yang penting. Sebab di sinilah miqot, tempat para calon jemaah haji mengucapkan niatnya melaksanakan ibadah haji. Jadi Tanaim adalah kota perbatasan sebelum memasuki kota suci Mekkah. Orang-orang yang non-Muslim hanya diperbolehkan berada sampai batas Tanaim ini, sebab untuk memasuki kota Mekkah jelas dilarang. Masjid Tanaim sehari-harinya diramaikan oleh orang-orang yang melaksanakan umroh atau sekedar beristirahat menghindari kegarangan kota Mekkah. Sekilas, ketenangan Masjid Tanaim ini mengingatkan saya pada Masjid Salman di Bandung.

***

Seperti halnya Masjidil Haram, Masjid Nabawi yang didirikan langsung oleh Rasulullah SAW di Madinah sedang mengalami perluasan yang besar-besaran. Masjid Nabawi ini meskipun secara formal tidak terkait langsung dengan ritual haji, namun menjadi salah satu tujuan yang sama pentingnya dengan Masjidil Haram bagi para jemaah. Di masjid inilah Rosulullah dimakamkan. Di masjid inilah terdapat Raudhah, sebuah tempat terbaik untuk berdoa selain Multazam di Masjidil Haram, yang begitu ramai dijejali orang. Di masjid inilah disunatkan shalat arbain, yakni mengikuti empatpuluh kali berjamaah yang sangat populer di kalangan kaum Muslimin.

Masjid Nabawi ketika didirikan pertama kali kecil saja ukurannya, begitu juga ketika perbaikan dan perluasan dilakukan dari zaman ke zaman ukurannya tidak fantastik, itu jika dibandingkan dengan Masjidil Haram. Setelah berkali-kali mengalami perluasan hingga luasnya mencapai 16.326 meter persegi, dalam pemerintahan Raja Fahd sekarang ini diperbesar lagi menjadi sepuluh kali lipat dari ukuran terakhir tadi. Dari gambar maket perencanaan saya melihat bahwa masjid yang ada sekarang ini nantinya menjadi bagian kecil saja dari rencana keseluruhan yang spektakuler.

Bagi para jemaah tahun-tahun sekarang ini dari luar mungkin hanya bisa menikmati kubah hijaunya yang terkenal beserta beberapa menaranya yang menjulang. Sebab bangunan mesjidnya sendiri terkurung oleh tiang-tiang pancang beton yang sedang dibangun. Perkembangan masjid kedua terbesar yang terdapat di Tanah Suci ini cukup unik. Perbaikan yang dilakukan para sahabat, para khalifah dan kemudian oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi sepertinya bertahap. Bangunan paling lama tak pernah diganti, tapi kemudian ditambah bangunan baru yang mengurungnya dan terus begitu sampai perbaikan yang besar-besar seperti ini. Jadi bangunan yang paling lama kemudian berada di tengah-tengah terkurung oleh bangunan-bangunan yang didirikan kemudian.

Makam Rasulullah SAW berada pada bangunan yang paling tua, di samping Raudhah. Interior bangunan lama ini masih bergaya klasik, penuh lekuk-lekuk dengan ornamen kaligrafi yang mengisi hampir seluruh dinding, tiang dan atap dengan warna-warna yang mencolok. Sementara itu lampu-lampu kristal yang semarak digantung begitu rapat satu sama lain mengisi sela-sela tiang. Ruangan lama ini terasa pengap karena langit-langitnya sangat rendah ditambah begitu banyaknya hiasan yang warna-warni serta pagar-pagar berukir dari kuningan yang menyilaukan mata.

Ruang lama yang ukurannya tak begitu besar itu kemudian disambung dengan bangunan yang bergaya lain. Bangunan ini lebih longgar, langitnya tinggi dengan tiang-tiang yang besar. Ornamen kaligrafi yang menghiasi dinding dan tiang tidak begitu dominan. Ada garis-garis abu yang berulang menghiasi lengkungan tiang. Sementara itu ruangan tengah masjid dibiarkan terbuka, seperti halnya Masjidil Haram. Dalam ruangan terbuka ini ada pagar kuningan yang berukir indah memanjang sebagai pembatas jemaah pria dan wanita. Pada saat shalat magrib, isya atau subuh ruangan tengah ini begitu sejuk dengan beratap langit. Tapi sehabis selesai shalat para jemaah berebut menyerbu bangunan lama untuk berziarah ke makam Rosulullah atau shalat sunat di Raudhah.

Selain Masjid Nabawi, di Madinah masih terdapat beberapa masjid bersejarah lainnya. Masjid Quba, Masjid Qiblatain serta beberapa masjid para sahabat ramai dikunjungi para jemaah. Masjid Quba adalah mesjid yang cukup penting dalam sejarah Islam, sebab inilah yang pertama-tama didirikan Nabi setibanya di Madinah. Masjid Quba yang berjarak sekitar lima kilometer dari pusat kota Madinah seperti halnya masjid-masjid bersejarah lainnya mengalami beberapa kali perbaikan dan perluasan. Masjid ini bukanlah tujuan utama para jemaah untuk beribadat hingga ukurannya tidak terus diperbesar. Masjid ini hanya dikunjungi untuk berziarah dan melakukan shalat sunat saja. Dalam perwujudannya sekarang Masjid Quba bergaya modern dengan desain yang sederhana, namun tetap berkesan anggun dan manis. Masjid yang didominasi dengan warna putih keabuan ini mempunyai empat menara yang menjulang runcing dan ujungnya berwarna hijau serta tiga kubah putih yang berdiri sejajar. Ornamen-ornamen dan kaligrafi hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu saja.

Tak jauh dari Masjid Quba, terdapat juga masjid yang tak kalah pentingnya dalam sejarah Islam, yakni Masjid Qiblatain. Masjid ini didirikan oleh Rosulullah sampai dua kali. Pertama ketika kiblatnya menghadap ke arah Masjidil Aqsha sebelum turun ayat yang memerintahkan supaya menghadap ke Baitullah, ke arah Masjidil Haram. Dari segi ukuran dan arsitekturnya masjid ini tak jauh berbeda dengan Masjid Quba. Seluruh dinding, menara dan kubahnya berwarna putih gading. Masjid ini juga sangat sederhana dan efisien menggunakan ornamen maupun kaligrafi. Di dalamnya terdapat dua mihrab yang menghadap ke arah Masjidil Aqsha dan ke arah Masjidil Haram. Sedang di salah satu dindingnya tertulis ayat Al-Qur’an yang isinya memerintahkan Nabi mengubah arah kiblat dengan terjemahan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Melayu. Sebuah puisi tiba-tiba muncul dalam benak saya:

Aku kehausan sepanjang Jeddah-Madinah
Di Masjid Nabawi seratus guci airmata menjadi penawarku
Seribu permadani menghampar di lantai hatiku yang baru
Baiklah, jika sujud dan tangisku masih belum cukup
Kasidah ini akan kulanjutkan hingga aku kehabisan suara

Sujudku akan kusambung di Masjid Quba dan tangisku
Akan kuledakkan di sela bukit-bukit Uhud
Biarlah sisa suaraku bersemayan di pemakaman Baqi
Menyanyikan keabadian dengan sayup-sayup
Sampai matahari berhenti membakar ubun-ubunku

Seperti yang saya sebut di bagian awal tulisan ini, masjid-masjid di Tanah Suci merupakan perpaduan utuh antara semangat artistik yang tinggi dan kesadaran spiritual yang dalam sehingga bisa memancarkan keindahan dan keanggunan yang tiada tara. Sebuah persenyawaan semangat akhirat dengan gairah dunia yang harmonis.

(1989)
Prev Next Next